Gelombang aksi unjuk rasa menentang pengesahan omnibus law UU Cipta kerja mengguncang seluruh tanah air. Sikap kepala batu pemerintah dan taktik DPR yang sarat akal bulus hingga UU Cipta Kerja disahkan melahirkan blunder dan rasa kecewa rakyat yang sangat mendalam.

Gelombang unjuk rasa menentang pengesahan UU Cipta Kerja ( Foto Istimewa )
Reaktor.co.id- Massa buruh cair bersama elemen mahasiswa, pelajar dan rakyat luas bahu-membahu selama aksi unjuk rasa yang berlangsung pada tanggal 6 – 8 Oktober 2020. Menghadapi gelombang aksi masa besar-besaran yang terjadi di 12 kota besar di tanah air, rezim penguasa langsung kebakaran jenggot.
Mereka menuding bahwa gerakan itu akibat berita hoax di media sosial. Pemerintah dan sebagian DPR juga menuding ada pihak yang mendanai aksi unjuk rasa diatas. Langkah pemerintah untuk membendung aksi hanya bersifat eksesif, yakni memasang iklan besar-besaran tentang UU Cipta Kerja di berbagai media mainstream. Juga menabur ancaman kepada para pelajar hingga mahasiswa agar tidak lagi terlibat dalam aksi-aksi unjuk rasa.
Perjuangan kaum buruh bersama rakyat untuk mempertahankan hak-hak dasar yang telah tertuang dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah dikhianati oleh DPR dan rezim penguasa.
Secara akademis dan proses politik, pembuatan dan penyusunan UU 13 jauh lebih partisipatif, transparan, dan penuh kehati-hatian dalam semangat gerakan reformasi bangsa.
Sangat berbeda dengan proses penyusunan omnibus law UU Cipta kerja yang penuh akal-akalan. Tidak ada transparansi untuk hal-hal yang krusial bagi buruh dan minim partisipasi publik saat penyusunan. Partisipasi publik hanya bersifat basa-basi dan hanya untuk hal-hal yang kurang esensial.
Dalam penyusunan UU 13 peran serikat pekerja/buruh diberikan secara luas, namun dalam penyusunan UU Cipta Kerja peran serikat pekerja/buruh diperlemah dan sengaja di telikung di sana sini.
Bahkan ada usaha untuk memecah belah diantara organisasi buruh. Semua aspirasi, konsep dan usulan dari pihak pekerja nyatanya dibuang di tempat sampah. Mereka hanya basa-basi mendengarkan organisasi buruh yang menyampaikan aspirasinya.
Hanya dua fraksi di DPR yang tulus dan menampung semua aspirasi kaum buruh secara konsisten, yakni PKS dan Partai Demokrat. Yang lain ingkar janji dan makan hati para pekerja.

BEM SI menentang omnibus law UU Cipta Kerja karena cacat formil (Foto istimewa)
Cacat Formil
Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dengan mengutip headline media mainstream, menyoroti tentang masalah cacat formil dalam UU Cipta Kerja. Dugaan ini didasarkan pada draf final RUU Ciptaker yang dikabarkan berubah-ubah.
Masalah cacat formil omnibus law ini sejak awal sudah disuarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI). Mahasiswa terbukti telah mengawal adanya kecacatan formil pada Omnibus law RUU Cipta Kerja sesuai dengan UU No. 12 tahun 2011 BAB II pasal 5 & BAB XI pasal 96. Oleh sebab itu mereka bereaksi keras lewat unjuk rasa ketika UU Cipta Kerja itu disahkan.
Menurut Fraksi Partai Demokrat, draf final yang seyogianya ditandatangani saat pengambilan keputusan tingkat I (Baleg) dan selanjutnya dibagikan kepada anggota DPR saat pengambilan keputusan tingkat II (Paripurna), ternyata tidak dilakukan. Informasi ini juga dibenarkan anggota fraksi dari parpol lainnya.
“Tidak adanya kejelasan draf final RUU Ciptaker membuat “chaos informasi” di masyarakat. Antar Pemerintah/aparat dan masyarakat saling tuding menyebarkan hoax, padahal rujukan “kebenaran informasi” itu pun belum ada. Jadi, bagaimana kita menganggap berita yang beredar itu hoax atau bukan,” tutur AHY.
“Saya khawatir kita tenggelam dalam perang informasi dan perang hoax. Termasuk ada “akun bodong” yang menyerang diri saya pribadi dan Partai Demokrat hanya karena kami berbeda pendapat. Disebar hoax, bahwa saya mendalangi demo UU Ciptaker.
Alhamdulillah, rakyat kita cerdas. Tuduhan itu dibantah oleh berbagai elemen masyarakat yang melakukan penolakan UU Ciptaker. Saya tegaskan, tuduhan tidak berdasar itu sangat menyakiti hati nurani rakyat, yang memang sungguh-sungguh ingin berjuang untuk kehidupannya yang lebih baik.
Kita adalah negara demokrasi. Kita harus menghargai perbedaan pandangan dan pendapat. Penolakan Partai Demokrat terhadap UU Ciptaker, dilakukan justru untuk menjaga negara ini agar tidak salah langkah. Sebagaimana penolakan Partai Demokrat terhadap RUU HIP.
Sikap Partai Demokrat yang mendukung UU No. 2/2020 tentang penanganan pandemi dan penyelamatan ekonomi, adalah contoh sikap kami yang tidak asal berbeda dengan pemerintah. Ada kalanya kami menolak; ada kalanya kami mendukung. Semangat kami berlandaskan pada kepentingan rakyat, bangsa, dan negara,” terang AHY.
AHY menuntut pemerintah untuk melakukan pengelolaan informasi dan komunikasi dengan sebaik-baiknya. Bukan hanya kepada apa yang pemerintah ingin sampaikan, tapi juga, harus berorientasi pada informasi apa yang ingin didengar dan dibutuhkan masyarakat; sehingga, komunikasi berlangsung dua arah.

Unjuk rasa buruh, mahasiswa, pelajar dan rakyat pada 8 Oktober 2020 menentang pengesahan UU Cipta Kerja (Foto istimewa)
UU Nomor 13 Lebih Berkualitas
Secara filosofis, mekanisme penyusunan dan substansi isinya, UU Nomor 13 lebih berkualitas dan lebih menjunjung tinggi keadilan sosial dibanding UU Cipta Kerja. Menurut Presidium Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) yang juga Ketua Umum FSP LEM SPSI, Arif Minardi, salah satu sisi wajah keadilan sosial di Indonesia tergambar dalam pasal-pasal UU No.13/2003.
Sejak UU itu diundangkan pada tangagal 25 Maret 2003, pihak Menaker yang waktu itu Yacob Nuwa Wea atas masukan serikat pekerja/buruh perlu program untuk membangun persamaan pemahaman terhadap isi Undang-undang tersebut.
Oleh karena itu pemerintah saat itu dalam hal ini Menakertrans Jacob Nuwa Wea yang notabene juga sebagai tokoh buruh berupaya membuat pedoman pemahaman UU Nomor 13 Tahun 2003. Pedoman yang berbentuk buku tersebut telah mendapat dukungan ILO melalui Declaration Project on Industrial Relation in Indonesia.
Sebenarnya pasal-pasal utama UU No.13/2003 bersifat sangat fleksibel dan amat normatif. Pasal-pasal itu merupakan pengganti dari berbagai perundangan ketenagakerjaan yang lama yang mengatur mengenai Pelatihan Kerja, Penempatan Tenaga Kerja, Hubungan Kerja, Perlindungan,Pengupahan dan Kesejahteraan, Hubungan Industrial, Pemutusan Hubungan Kerja, dan Pengawasan Ketenagakerjaan.

Buruh dan rakyat bersatu menentang pengesahan UU Cipta Kerja ( Foto istimewa )
Kuasa Oligarki
Menurut Eko Cahyono Peneliti dan Pegiat Sajogyo Institute dalam artikelnya (13/10/2020) penolakan pengesahan UU Cipta Kerja merupakan akumulasi rakyat dalam menentang kuasa oligarki yang saat ini begitu merajalela.
Dalam artikelnya yang dikutip koran Kontan, Eko memaparkan bahwa;
Pengesahan RUU Cipta Kerja terus mendapatkan penolakan dan protes keras berbagai elemen masyarakat. Penolakan baik dari kaum buruh yang merasa dirugikan, akademisi, agamawan, gerakan mahasiswa, dan masyarakat sipil lainnya.
Para pengambil kebijakan baik eksekutif maupun legislatif dan para tim ahlinya sebenarnya telah lama mendapatkan masukan beragam dokumen dan informasi publik, baik berisi kritik dan alasan penolakan yang terkandung dalam RUU Cipta Kerja. Terutama seputar alasan penyediaan karpet merah bagi investor, kekhawatiran kembalinya sentralistik, potensi pengingkaran hak dasar buruh, eksploitasi sumberdaya alam hingga kritik karena proses menyalahi prosedur pembentukan perundang-undangan.
Kita sudah seringkali mendengar bahwa upaya memberikan kemudahan investasi bertujuan untuk meningkatkan pembangunan dan memperbaiki kondisi ekonomi nasional. Hal ini juga di klaim dan asumsi bahwa perbaikan ekonomi secara linier meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Untuk menjawab berbagai pertanyaan itu, kita bisa memulai dengan membaca Laporan Bank Dunia (2018). Laporan itu menyebutkan ada salah satu ketimpangan di Indonesia terjadi akibat persoalan pemusatan kekayaan.
Laporan Bank Dunia menyebut sebanyak 10% orang kaya memiliki 77% seluruh kekayaan negara. Selain itu pundi-pundi uang yang didapat dari aset finansial dan fisik mengalir hanya ke kantong para orang kaya sehingga penghasilan yang mereka dapat lebih besar.
Sementara berdasarkan laporan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TP2K, Oktober 2019) menunjukkan bahwa 1% orang di Indonesia bisa menguasai 50% aset nasional. Jika dinaikkan jadi 10% keluarga maka ini menguasai 70%. Artinya sisanya 90% penduduk memperebutkan 30% sisanya.
Catatan akhir tahun 2019 dari Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) juga menegaskan salahsatu akar masalah kebangsaan sekarang adalah ketimpangan, intolerasi ekonomi akibat oligarki. Oligarki membuat kue ekonomi nasional tumbuh, tetapi tidak terbagi secara merata.
Akibatnya, koefisien gini turun sedikit, begitu pun rasio gini penguasaan tanah. Secara nominal, kekayaan 50.000 orang terkaya setara dengan gabungan kepemilikan 60% aset penduduk Indonesia atau 150 juta orang.
Ketimpangan struktural juga bisa dicerminkan masih tingginya penguasaan lahan oleh segelintir orang dan kelompok korporasi. Dalam kasus sektor kehutanan, korporasi sawit dan tambang masih menjadi penguasa lahan skala luas. (TuK, FWI, Auriga, 2018).
Ketimpangan juga terlihat dari aspek ketidakadilan distribusi dan alokasi atas tanah dan sumber agraria nasional yang masih tinggi, jauh dari tujuan pemerataan dan keadilan agraria (Shohib, 2019). Tak heran jika daftar rangking orang terkaya di Indonesia versi Majalah Forbes (2018-2019) juga tidak banyak berubah.
Permasalahan inilah yang bisa menjadi dasar analisa bahwa para elite ekonomi dan politik yang mendorong lahirnya omnibus law. Hal ini didukung dengan temuan KPK (2017) yang menyebutkan 70 % lebih para penguasa politik tersandera “ijon politik” dengan korporasi pengelola sumberdaya alam. Hal ini tercermin baik pada saat Pemilihan Kepala Daerah Pilkada bahkan Pemilihan Presiden (Pilpres). Kompensasi dari ijon politik ini dengan memberikan kemudahan izin dan konsesi proyek investasi mereka.
Temuan KPK ini juga seiring dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Auriga, 2020. Penelitian itu menyebut status 263 atau sekitar 45, 5% dari 575 anggota DPR diduga terafiliasi dengan perusahaan. Nama mereka tercatat pada 1.016 perseroan terbatas yang bergerak di berbagai sektor.
Sejalan dengan itu, Studi terbaru mengenai Peta Pebisnis di Parlemen (Marepus Corner, 2020) menyebut 55 % pebisnis multi sektor usaha, menguasai di DPR sehingga melahirkan syarat kepentingan atas produk legislasinya.
Dengan fenomena eksekutif, legislatif, yudikatif seperti ini JA. Winter, Oligarki, 2011 menyebutnya sebagai oligarki penguasa kolektif. Mayoritas para aktor utamanya adalah hasil proses reorganizing dan transformasi kekuatan politik oligarki warisan Orde Baru yang masih bercokol kuat hingga sekarang.
Yang membedakan adalah pada masa Orde Baru kekuatan oligarki predatoris ini melanggengkan dominasinya melalui instrumen otoritas sentral negara. Sedangkan di era Pasca Soeharto, dilakukan melalui berbagai partai politik, pemilu, parlemen dan disentralisasi (Vedi R Hadiz, 2005).
Akhir kata, terbitnya omnibus law UU Cipta Kerja mesti dimaknai sebagai tonggak penting kemenangan oligarki para pengabdi investasi. Hal ini sekaligus menjadi lonceng tanda kematian suara nurani dan masa suram demokrasi di negeri ini. (*)
Buruh Juga Menggempur Kuasa Oligarki Tidak Sekedar Memperjuangkan Hak Dasar