Tagar #STMmelawan Trending, Tak Gentar dan Militan Laksana Patriot

911 views

Darurat demokrasi dan krisis kenegaraan telah memanggil segenap anak bangsa, tak terkecuali para siswa sekolah menengah dengan sebutan STM untuk turun ke jalan. Para belia STM itu terlihat begitu militan, kompak dan berani, bak pejuang republik tempo dulu saat melawan penjajah. Mereka memilih peduli terhadap nasibnya sendiri dan masa depan bangsa yang kian suram akibat sepak terjang elit politik.

Reaktor.co.id – Tagar #STMmelawan memuncaki trending pada Rabu (25/9/2019) di Twitter. Menurut pantauan detik.com hingga pukul 13.47 WIB sudah ada 10.200 tweet.

Di posisi kedua ada #AyoSemuaBergerak dengan 60.700 tweet. Lalu ada #TrisaktiTurunLagi dengan 58.100 tweet dan Atiatul Muqtadir, sosok Ketua BEM UGM yang dinilai cerdas berargumen dalam sebuah acara debat televisi. Posisi kelima ada Faisal, mahasiswa Al Azhar yang terluka cukup parah dalam aksi unjuk rasa.

Peneliti media sosial dari Drone Emprit, Hari Ambari, menyebut tagar ini bermula dari topik anak STM dan demo di DPR.

“Jadi sebelumnya topik anak STM yang menginisiasi. Jadi di-trigger-nya oleh kabar anak STM turun ke jalan, bukan ada aktor intelektual yang meng-compose ini secara sengaja (dalang),” kata Hari Ambari dikutip detik.com.

Hari memaparkan, berdasarkan data yang dia himpun mesin Drone Emprit, topik anak STM lebih dulu masuk radar pada Selasa (24/9/2019) malam. Tagar ini pun direspons oleh para pendukung demo di DPR hingga akhirnya bermetamorfosis menjadi tagar #STMmelawan.

Aksi unjuk rasa menolak sejumlah RUU di DPR dan mengecam sikap kepemimpinan nasional yang melemahkan KPK serta sederet kebijakan yang dinilai membohongi rakyat, mencuatkan fenomena perjuangan kaum belia yang duduk di bangku STM.

Kenapa muncul singkatan lama STM ( Sekolah Teknik Menengah), bukannya SMK ( Sekolah Menengah Kejuruan ), menurut penelusuran Reaktor.co.id ternyata warga jagat sosmed risih dengan istilah yang kini menjadi akronim perusahaan otomotif “jadi-jadian”. Mereka merasa lebih  pas dan ada unsur nostalgia dengan istilah STM.

Awal pergerakan anak STM itu sebetulnya sudah diketahui aparat kepolisian. Sebagian dari mereka digiring agar membubarkan diri. Namun sejumlah siswa SMK lainnya sampai juga di sekitar Gedung DPR lalu berjuang membantu kakak-kakak mahasiswa yang sudah terlebih dahulu berjuang melawan.

Kapolres Jakarta Pusat Komisaris Besar Polisi Harry Kurniawan mengatakan anak STM itu dari berbagai daerah yang datang di antaranya Jakarta, Tangerang, Karawang, Bekasi, hingga Bogor.

Sebagian dari mereka kemudian diangkut menuju Mapolda Metro Jaya untuk mendapatkan pembinaan. ”Karena mungkin dengan pendekatan Binmas bisa lebih mendalam,” sambung dia sebagaimana dikutip dari detik.com.

Padatnya cuitan di Twitter membicarakan tentang siswa STM yang berjuang membantu mahasiswa melakukan aksi demonstrasi.

“Di belakang dlu mundur bang, kita mau pke taktik “kata anak STMnya, mahasiswa mecahin batu, siswa stm yang naik ke atas nyerang polisi. Yg bawah mahasiswa. Polisi trkepung di terowongan, sempat ditutup terowongannya pke api haha, fakk lah kepkiran bner nih anak STM #TolakRUUKUHP,” cuit akun @kvnavsl.

“Dari anak STM kita belajar, jumlah besar tetap akan kalah dengan pasukan kecil namun terkordinasi secara sistematis. Saya harap hari ini dan kedepannya, orator mampu menghandle ribuan masa agar lebih terstruktur demonya. Goodluck lads!,” kata akun @briankhrisna.

“Anak STM datang tanpa diduga. Antisipasi nya pasti yg demo cm mhs, trnyata anak STM gabung jg. Tp pagi sekolah dulu kan dek? #RakyatDukungAksiMahasiswa,” kata netizen lainnya.

Laksana Patriot

Sepak terjang kaum belia STM kini mengingatkan kita kepada pelaku pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945 antara rakyat Indonesia dengan pasukan sekutu Britania Raya merupakan revolusi kemerdekaan yang digerakkan oleh para pemuda dan pelajar.

Pertempuran Surabaya sangat dahsyat sepanjang sejarah dunia, menyebabkan sekitar 16 ribu pejuang gugur di medan perang sebagai kusuma bangsa. Perang yang dahsyat itu berlangsung selama 20 hari.

Sebagian besar yang gugur adalah para pemuda dan pelajar. Semangat juang yang oleh Bung Tomo digambarkan bagaikan banteng-banteng ketaton dalam medan laga yang tidak takut mati karena disemangati oleh pekik takbir dan seruan merdeka.

Kehebatan Revolusi Surabaya 1945 yang digerakkan oleh pemuda dan pelajar diabadikan di Imperial War Museum di London, Inggris. Ada sebuah foto yang menarik, seorang anak muda sekitar 12 tahun digiring oleh serdadu Gurkha dengan bayonet terhunus.

Penjelasan foto itu adalah: “Anak ini tertangkap setelah terkena tembakan pada kakinya dan pincang. Sebelumnya anak ini menembaki pasukan Sekutu dan melemparkan granat”. Inilah bukti sejarah betapa hebatnya daya juang, militansi dan semangat totalitas yang dipersembahkan untuk bangsanya.

Ribuan pejuang yang meninggal dalam pertempuran dimakamkan di Taman Kusuma Bangsa, Ngagel dan pemakaman umum Tembok, Pegirian, Tembaan, serta makam umum di kampung-kampung Surabaya. Banyak di antara mereka adalah pahlawan tidak dikenal dan masih berusia belia.

Pertempuran Surabaya 10 November 1945 benar-benar melibatkan arek-arek yang tiada lain adalah pemuda dan pelajar. Para pejuang itu sangat belia, usianya antara 12 hingga 25 tahun. Mereka ini masih pelajar sekolah menengah. Yang sebagian bergabung dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar). Di antaranya ada yang sudah kuliah di perguruan tinggi.

Belia STM Tempo Dulu

STM merupakan salah satu cabang pendidikan kejuruan teknik yang sudah ada sejak zaman Belanda.

Sebagaimana dikutip dari Buku SMK Dari Masa ke Masa yang diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015 lalu disebutkan sekolah kejuruan yang didirikan Belanda memiliki tiga corak yaitu corak kewanitaan, sekolah teknik, dan sekolah pertanian.

Kala itu ada beberapa jenis sekolah teknik. Misalnya Ambachts School van Soerabaia yaitu sekolah teknik malam hari untuk anak-anak Indo dan Belanda yang bekerja siang hari. Sekolah ini berdiri sejak 1853 di Surabaya.

Kemudian ada Burger Avond School yang harus waktu pendidikannya 2 tahun. Ini adalah sekolah pertukangan yang digabungkan dengan Hoogere Burger School (HBS sama dengan sekolah menenah umum) yang berdiri pada 1876.

Pada 1885 Burger Avond School mulai dipisahkan dari HBS. Setelah berdiri sendiri, lama pendidikan menjadi 4 tahun dan mata pelajarannya diperluas menjadi sekolah teknik. Pada 1912, sekolah ini menjelma menjadi Koningin Emma School (KES).

Sekolah teknik yang dikhususnya bagi bangsa Eropa juga ada yaitu Europeese Ambacht School. Sekolah yang bahasa pengantarnya bahasa Belanda ini berdiri sejak 1900. Siswa di sekolah ini harus menempuh pendidikan selama 3 tahun.

Ada pula Koningin Weihelmina School (KWS) yang berdiri pada 1901 dengan lama pendidikana 3 tahun. Bebrapa tahun berselang ada KWS-B dengan jurusan mesin, bangunan sipil, dan pertambangan.

Pada 1913, lama pendidikan 3 tahun menjadi 4 tahun. Jurusan bangunan sipil juga dipecah sejak 1921 menjadi bangunan sipil dan bangunan air. Jurusan mesin juga berkembang pada 1926 dengan menjadi jurusan mesin khusus dan listrik.

Paling akhir adalah Middelbare Technise School (Sekolah Teknik Menengah) yang kemudian menjadi cikal bakal STM.

Salah Urus SMK

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) per Februari 2019 sebanyak 6,82 juta orang. Dari jumlah angkatan kerja 136,18 juta orang, segmen pengangguran paling tinggi adalah lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK).

“Tingkat pengangguran terbuka menurut pendidikan, tidak banyak berubah bahwa TPT paling tinggi masih dari SMK, lalu dari diploma I, II, dan III, lalu di susul SMA,” kata Kepala BPS Suhariyanto.

Selama ini pemerintah belum berhasil mengelola postur SDM bangsa, utamanya segmen lulusan SMK. Pemerintah selama ini belum memfasilitasi secara total untuk meningkatkan kompetensi lulusan dalam bidangnya.

Direktur Pembinaan SMK Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Bakrun tidak sepenuhnya setuju pada anggapan bila kualitas pendidikan SMK menyebabkan lulusannya menyumbangkan jumlah pengangguran terbesar.

Menurut Bakrun, besaran persentase yang disampaikan BPS itu seharusnya bisa dimaknai bahwa ada fenomena tersendiri pada lulusan SMK. “Persentase itu, kan, bukan angka kuantitatif. Jadi seharusnya perlu dilihat juga persentase dalam lima tahun terakhir. Tidak akan mungkin langsung berubah, tapi dari tren yang terlihat ada penguatan pada lulusan SMK,” kata Bakhrun dikutip Tirto.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai, kelompok angkatan kerja yang merupakan lulusan SMK maupun SMA relatif besar. Berdasarkan data yang dihimpun INDEF, angkatan kerja pada level pendidikan tersebut berjumlah 35,8 juta orang atau sekitar 28,2 persen dari total angkatan kerja. “Kalau kelompok itu penganggurannya tinggi, maka pendapatan masyarakat secara umum bisa terganggu,” kata Bhima dikutip Tirto. (TS).*

unjuk rasa siswa SMK

Related Post

Leave a Reply