Sejak UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disahkan menimbulkan kekhawatiran akan kerancuan dan kerumitan terkait uang pesangon PHK dan manfaat pensiun.
Reaktor.co.id – Pengusaha sudah pasti ingin skema yang menguntungkan dirinya. Sedanghkan pekerja was-was tidak memperoleh manfaat ganda, yakni pesangon dan manfaat pensiun.
Bahkan lembaga pengelola dana pensiun juga khawatir karena eksistensinya bisa terganggu jika peraturan turunan yang saat ini sedang disusun tidak berlaku adil bagi seluruh pemangku kepentingan.
Sejak UU Cipta Kerja disahkan, dana pensiun pekerja bakal jadi terhambat.
Direktur Eksekutif Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) Bambang Sri Muljadi menyatakan bahwa sejauh ini pemberi kerja memanfaatkan layanan dana pensiun untuk memenuhi kecukupan pesangon, melalui program Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK).
Menurutnya, saat Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja berlaku, secara prinsip para pekerja memang akan memperoleh pesangon tetapi nilainya menurun menjadi maksimal 25 kali upah, dari yang sebelumnya 32,2 kali upah. Pembayaran itu pun 19 kalinya ditanggung pemberi kerja dan 6 lainnya dari program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
“Kalau (dana pensiun) itu hilang dikhawatirkan nanti pemberi kierja tidak membuat dana pensiun lagi, cukup pesangon saja. Dari segi industri dana pensiun, kalau DPPK diabaikan dan pesangon menjadi kurang pasti, pemberi kerja tidak akan concern lagi membuat dana pensiun untuk pekerjanya,” ujar Bambang dikutip Bisnis.
Dia menilai bahwa omnibus law itu ‘menghindari’ ketentuan Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang mewajibkan pembayaran pesangon sebesar 32,3 kali upah. Aturan itu pun dapat membuat beban dunia usaha berkurang karena nominal pesangon turut menurun.
Bambang menyayangkan keputusan itu, bahkan menilainya sebagai sesuatu yang salah. Omnibus law itu dikhawatirkan dapat mengurangi kesiapan tenaga kerja dalam memasuki masa pensiun, bahkan mungkin dapat mengurangi dana kelolaan industri dana pensiun.
“Ini kelihatannya sedikit-sedikit [UU 13/2003] mau dihindari, justru salah dan tidak pas. Harusnya yang dihilangkan itu apabila pekerja yang keluar di masa belum memasuki usia pensiun haknya jangan double,” ujarnya.
Bambang pun memastikan bahwa para pekerja akan dirugikan jika sampai RUU Cipta Kerja mengurangi manfaat pensiun, karena kebutuhan dana dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan atau BP Jamsostek saja belum cukup.
“Dana pensiun itu pada prinsipnya untuk mendidik karyawan membuat tabungan [untuk masa pensiunnya],” ujar Bambang.

Syarifudin Yunus (Foto Istimewa)
Kaitan Pesangon dan Dana Pensiun
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syarifudin Yunus publik menanti peraturan pemerintah (PP) yang menjadi aturan turunannya. Salah satunya menyangkut soal pesangon pekerja.
“Lalu, bagaimana kaitan pesangon di UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan program pensiun? Karena faktanya, saat ini sudah ada pengusaha atau pemberi kerja yang mengikutsertakan pekerja ke dalam program pensiun yang bersifat sukarela,” ujar Syarifudin.
Lebih lanjut dia menyatakan bahwa UU Cipta Kerja sudah disahkan. Tapi faktanya, masih banyak pekerja yang tidak tahu apa itu uang pesangon? Apa pula uang pensiun? Lalu, bagaimana membedakan uang pesangon dan uang pensiun menurut UU Cipta Kerja.
“UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, Pasal 156 ayat (1) dinyatakan “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima”. Sampai di sini, yang ditegaskan kata “uang pesangon” bukan “uang pensiun” ya, “ jelas Syarifudin.
Itu berarti, saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) maka pengusaha wajib membayar a) uang pesangon (ayat 2 Pasal 156 UU Cipta Kerja), b) uang penghargaan masa kerja (UPMK) (ayat 3), dan c) uang penggantian hak (UPH) seperti cuti tahunan dan biaya ongkos pekerja (ayat 4). Sampai di sini pun, masih disebut “uang pesangon” bukan “uang pensiun”.Lalu, kapan uang pensiun diperoleh ?
Analisis Syarifudin Yunus :
Patut disimak, pada UU Cipta Kerja Pasal 154A disebutkan pemutusan hubungan kerja (PHK) dapat dilakukan pengusaha atau pemberi kerja atas 14 alasan, yaitu: 1) penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, 2) efisiensi, 3) tutup akibat kerugian, 4) tutup akibat force majeur, 5) ada kewajiban pembayaran utang, 6) pailit, 7) melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh, 8) pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri, 9) pekerja/buruh mangkir, 10) pekerja/buruh melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, 11) pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib, 12) pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja, 13) pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau 14) pekerja/buruh meninggal dunia. Alasan-alasan tersebut, boleh disebut sebah terjadinya PHK.
Dengan demikian, uang pesangon dapat diartikan “uang yang diberikan sebagai bekal kepada pekerja saat diberhentikan dari pekerjaan atas alasan apapun, termasuk salah satunya akibat memasuki usia pensiun”.
Sedangkan uang pensiun berarti uang yang diterima pekerja karena masa tugasnya/kerjanya sudah selesai atau uang tunjangan yang diterima tiap-tiap bulan oleh pekerja sesudah ia berhenti bekerja”. Jadi bolehlah dikatakan, uang pesangon diberikan saat pekerja diberhentikan dari pekerjaan atas sebab alasan apapun.
Sedangkan uang pensiun diberikan sebagai hak pekerja karena masa tigas berakhir dan dikaitkan dengan pencapaian usia pensiun. Dan pensiun adalah salah satu sebab terjadinya pemutusan hubungan kerja akibat memasuki usia pensiun.
Hakikatnya, tentu syarat, mekanisme, dan kompensasi PHK akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) sesuai amanat Pasal 156 ayat (5) UU Cipta Kerja, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah”. Maka sambil menunggu PP sebagai aturan turunan UU Cipta Kerja, bagaimana perhitungan uang pesangon atau uang pensiun versi UU Cipta Kerja?
Melalui dana pensiun, baik Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Bagaimana nasib iuran yang dibayar oleh pengusaha dalam program pensiun? Apakah dapat dikompensasikan (offset) sebagai kewajiban pesangon pengusaha kepada pekerja di UU Cipta Kerja?
Dalam konteks ini, penting disampaikan bahwa penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) UU Cipta Kerja pun mengatur tentang besaran imbalan pesangon pekerja yang dikaitkan dengan penyelenggaraan program pensiun yang bersifat sukarela.
Artinya, PP yang sedang disusun harusnya tetap mengakomodasi tentang diperkenankannya menggunakan manfaat program pensiun yang diperoleh dari DPPK dan DPLK sebagai bagian dari pemenuhan uang pesangon (UP), uang penghargaan masa kerja (UPMK), dan uang penggantian hak (UPH) saat pekerja mencapai usia pensiun atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Secara konkret, peraturan pemerintah setidaknya perlu mencantumkan kalimat Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun, manfaat pensiun yang diperoleh dari program pensiun tersebut setelah dikurangi dengan akumulasi iuran yang dibayar oleh pekerja/buruh beserta hasil pengembangannya, bila ada, dapat diperhitungkan sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban pengusaha terhadap pembayaran uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja untuk semua jenis pemutusan hubungan kerja.
Setidaknya ada tiga alasan pentingnya pesangon di UU Cipta Kerja dikaitkan dengan program pensiun sukarela yang telah ada, yaitu: Pertama, saat ini terdapat 231 lembaga penyelenggara program pensiun, baik Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) maupun Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) yang mengelola aset lebih dari Rp 286 triliun dan melayani lebih dari 4,3 juta peserta.
Kedua, tanpa adanya pengaturan dan penegasan dalam Peraturan Pemerintah terkait pesangon maka pengusaha yang telah menyelenggarakan program pensiun berpotensi terbebani dengan pengeluaran ganda. Dikarenakan aset yang sudah terhimpun melalui program pensiun sukarela selama bertahun-tahun tidak dapat digunakan dan pengusaha masih harus membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja.
Ketiga, apabila pesangon dalam UU Cipta Kerja tidak dikaitkan dengan program pensiun maka ada potensi pengusaha dihadapkan pada keadaan tidak dapat menggunakan dananya untuk kompensasi terhadap kewajiban pembayaran UP, UPMK, dan UPH.
Aturan pesangon untuk pekerja atau buruh sesungguhnya bukan hal yang baru. UU Cipta Kerja pun hanya merevisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalihnya, karena aturan dan besaran pesangon yang lama dianggap memberatkan pengusaha sehingga investor tidak mau investasi di Indonesia karena tingginya beban biaya perusahaan. Tentu, alasan yang dapat diterima walau tidak sepenuhnya benar.
Pendanaan pesangon
Mesti dipahami, pesangon adalah kewajiban pengusaha yang telah mempekerjakan pekerja. Maka saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pensiun, uang pesangon pekerja harus tersedia dan siap dibayarkan.
Terlepas dari besaran pesangon yang akan diatur dalam PP, pengusaha harus membayarkannya. Karena itu, kesadaran pengusaha untuk mulai mendanakan uang pesangon pekerja menjadi penting. Bila perlu, uang pesangon dapat didanakan secara terpisah dari sistem keuangan perusahaan, bukan hanya dibukukan.
Realitasnya, banyak pekerja tidak mendapatkan hak uang pesangon saat terjadi PHK. Uang pesangon pekerja tidak dibayarkan karena dananya tidak tersedia. Itulah titik krusial uang pesangon. Bukan di regulasi tapi di kepatuhan terhadap aturan.
Oleh karena itu, UU Cipta Kerja yang baru seharusnya pemerintah fokus pada upaya implementasi pendanaan dan pembayaran pesangon. Apakah setiap pengusaha atau perusahaan sudah benar-benar mendanakan uang pesangon?
Karena bila tidak, pesangon akan tetap jadi momok bagi pekerja dan selalu jadi masalah yang tidak kunjung selesai.
Soal kepatuhan pengusaha dalam membayar pesangon pekerja yang di-PHK menjadi penting ditegakkan di UU Cipta Kerja. Data Kementerian Ketenagakerjaan pada 2019 menyebutkan hanya 27% pengusaha yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai dengan ketentuan UU 13/2003. Sisanya, 73% tidak melakukan pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan UU Ketenagakerjaan.
Bahkan laporan World Bank yang mengutip data Survei Angkatan Kerja Nasional BPS 2018 menyatakan 66% pekerja sama sekali tidak mendapat pesangon sesuai aturan, 27% pekerja menerima pesangon kurang dari yang seharusnya diterima, dan 7% pekerja yang menerima pesangon sesuai dengan ketentuan.
Dengan kondisi tersebut, upaya yang harus dilakukan bukan hanya memperbaiki aturan atau regulasi. Namun sangat penting melakukan edukasi dan sosialisasi kepada pengusaha atau pemberi kerja untuk patuh dalam pembayaran pesangon pekerja sesuai ketentuan yang berlaku. UU Cipta Kerja seharusnya mampu menjadi solusi dari masalah pesangon sehingga memberikan kepastian pembayaran pesangon bagi pekerja di sektor apapun.
Sekali lagi, pesangon adalah kewajiban pengusaha. Cepat atau lambat, pesangon harus dibayarkan. Maka, UU Cipta Kerja memang pantas hadir untuk menata aturan ketenagakerjaan di bumi Indonesia menjadi lebih baik. Regulasi memang penting namun kepatuhan menjalankan aturan jauh lebih penting.
Dengan begitu, UU Cipta Kerja bakal mampu meningkatkan iklim usaha yang kondusif, menciptakan lapangan kerja baru, dan memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Tanpa mengabaikan hak-hak pekerja yang semestinya. (*)