Reaktor.co.id, Jakarta — Massa buruh/pekerja yang tergabung dalam Gerakan Kesejahteraan Nasional (Gekanas) berencana menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di depan Istana Merdeka, Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2019, mulai pukul 11.00 WIB.
Aksi demonstrasi dilakukan guna menolak revisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
Gekanas merupakan aliansi federasi serikat pekerja FSP KEP KSPSI, FSP LEM KSPSI, FSP RTMM KSPSI, FSP KEP KSPI, PPMI 1998, FSPI, dan FPAREF.
Mereka bersepakat menolak rencana revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
“Alasan kami menolak revisi adalah, pertama, karena sampai saat ini tidak ada dokumen resmi dari pemerintah maupun LKS Tripartit yang menjadi dasar bahwa UU Nomor 13 Tahun 2003 perlu di revisi,” tulis Gekanas dalam rilisnya yang diterima Reaktor.co.id, Selasa (20/8/2019).
Menurut Gekanas, dokumen tersebut haruslah berisi seluruh argumen, kajian, data-data yang digunakan, analisis, dan parameter ekonomi yang digunakan secara nasional.
Selain itu, dokumen resmi juga harus menyajikan perbandingan dengan negara tetangga/negara maju/negara berkembang, analisis dari akademisi, praktisi, pakar, keterwakilan serikat pekerja/buruh (SP/SB), pendapat/analisis lintas kementerian, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Pusat Statistik (BPS), serta pihak lain yang dianggap dapat memberikan kontribusi dalam permasalahan ketenagakerjaan khususnya dan ekonomi nasional secara umum.
“Mengapa harus komprehensif seperti itu, karena Undang-Undang ini sangat menentukan nasib dan kehidupan 51 juta pekerja formal yang sedang bekerja dan jika dijumlahkan dengan keluarganya dapat mencapai seratus juta lebih atau sekitar 50 % penduduk Indonesia,” jelasnya.
Alasan penolakan yang kedua adalah beredarnya draft di kalangan serikat pekerja/serikat buruh. Walaupun bukan draft resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah atau LKS Tripartit, akan tetapi isinya identik dengan draft revisi UU Ketenagakerjaan yang beredar tahun 2006 hasil kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan lima universitas di Indonesia.
“Draft yang beredar tersebut isinya sangat merugikan pekerja/buruh,” tegas Gekanas.
Meskipun dikatakan bahwa belum ada draft yang resmi, tetapi faktanya bahwa draft revisi UU 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang beredar dikalangan SP/SB dibenarkan oleh beberapa Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) dan dari berbagai sumber lainnya.
Alasan penolakan yang ketiga adalah mekanisme pengambilan keputusan untuk merevisi UU Ketenagakerjaan tersebut belum dijalankan dengan benar.
“Hal ini ditandai dengan tidak adanya dokumen resmi sebagai hasil pembahasan didalam LKS Tripartit. Yang ada adalah revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan telah disetujui oleh LKS Tripartit. Itu pun LKS Tripartit tahun 2016, tetapi sekali lagi tanpa dokumen yang resmi,” jelasnya.
Menurut Gekanas, penolakan kalangan serikat pekerja terhadap rencana revisi UU Ketenagakerjaan juga dipicu oleh berulangnya cara-cara lama yang dilakukan oleh Apindo dalam mengupayakan revisi Undang-Undang tersebut.
Diketahui, revisi UU Ketenagakerjaan diusulkan pengurus Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pada pertemuan dengan Presiden Joko Widodo pada Kamis 13 Juni 2019 di Istana Negara, sebagaimana dilansir berbagai media.
Saat itu, pengurus Apindo mengusulkan kepada pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan agar industri padat karya dapat bertumbuh di Tanah Air.
Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, pemerintah perlu meninjau kembali undang-undang tersebut karena sudah tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini dan membuat industri padat karya beralih ke negara lain seperti Vietnam, Myanmar, Kamboja, dan lainnya. (Tribunnews).
Gekanas menilai, Apindo mencoba menggulirkan kembali keinginan untuk merevisi Undang-Undang ini dengan membuat opini kepada presiden bahwa Undang-Undang ini termasuk yang menghambat dunia usaha dan perekonomian Indonesia.
“Patut digaris bawahi bahwa alasan-alasan yang dikemukakan kepada Presiden belum teruji dan bisa menyesatkan, karena kenyataannya LKS Tripartit tidak pernah mengeluarkan dokumen resmi,” kata Gekanas.
“Padahal, melalui jalur lembaga inilah harusnya keinginan pengusaha untuk merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan disampaikan dengan segala alasannya. Dan apabila telah dibuktikan bahwa pembahasan didalam lembaga ini mengalami deadlock, maka prosedur berikutnya adalah bisa melalui jalur hukum dengan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi atau melalui jalur politik yaitu mengadu ke Presiden.”
Dalam pandangan Gekanas, dalam upaya untuk mencari penyelesaian win-win solution, Apindo belum sepenuhnya menjalankan mekanisme yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 1 ayat (19) yang menyatakan, “Lembaga kerja sama tripartit adalah forum komunikasi, konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang anggotanya terdiri dari unsur organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah.”
“Dari berbagai alasan dan pertimbangan tersebut, kami meminta kepada Bapak Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia agar tidak memenuhi keinginan Apindo untuk melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,” kata Gekanas.
Bilamana ada permasalahan yang menyangkut ketenagakerjaan, Gekanas menyatakan siap berdialog dengan seluruh pemangku kepentingan untuk mengkomunikasikan, mengkonsultasikan, dan memusyawarahkan secara mendalam dan komprehensif.*
Aksi Demonstrasi Gekanas Revisi UU Ketenagakerjaan Serikat pekerja Unjuk Rasa