
Ilustrasi Aksi Demo Buruh
Reaktor.co.id — Aksi demonstrasi atau unjuk rasa digelar berbagai elemen masyarakat sepanjang Agustus-September 2019 hingga Oktober 2019.
Selama Agustus, aksi demonstrasi dilakukan kalangan pekerja/buruh untuk menolak rencana revisi Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Kalangan pekerja menilai, revisi UU Ketenagakerjaan yang diinisiasi pengusaha bakal merugikan pekerja, seperti soal upah, PHK, pesangon, dan kontrak kerja.
Selama September, dimulai 19 September 2019, aksi demonstrasi dilakukan kalangan mahasiswa dan pelajar. Khusus pelajar, massa yang turun ke jalan mayoritas siswa SMK (d/h STM) sehinga tagar #STMmelawan trending topic di Twitter. Massa pelajar diklaim membantu mahasiswa, khususnya dalam menghadapi aparat.
Aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dipicu pengesahan Undang Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang baru. UU KPK ini dinilai melemahkan KPK dan berpihak pada koruptor yang kebanyakan anggota DPR.
Selain menentang UU KKP, massa juga menentang sejumlah Rancangan Undang Undang (RUU) yang dinilai tidak berpihak pada rakyat dan anti-demokrasi, khususnya Rancangan KUHP.
Belum reda aksi demo mahasiswa, kalangan buruh kembali turun ke jalan dengan isu baru: menolak kenaikan iuran BPJS. Mereka pun menggelar Aksi Nasional Buruh 2 Oktober 2019.
Demonstrasi adalah pernyataan protes yang dikemukakan secara massal; unjuk rasa. Demontrasi secara bahasa juga berarti peragaan atau pertunjukan tentang cara melakukan atau mengerjakan sesuatu (KBBI).
Demonstrasi atau aksi unjuk rasa kini menjadi andalan dalam menyampaikan aspirasi. Jumlah demonstran yang hadir dalam sebuah aksi demo menunjukkan kekutan tekanan kepada pihak yang didemo.
Seringkali aksi demo berakhir ricuh. Penyabab kericuhan biasanya massa memaksa masuk ke sebuah gedung dan dihalangi polisi, massa dibubarkan paksa oleh polisi, atau ada provokasi seperti pelemparan. Provokasi biasanya dilakukan penyusup, provokator, pihak demonstran, atau bahkan oleh aparat.
Aksi demonstrasi merupakan salah satu cara menyampaikan aspirasi akibat kebijakan yang dinilai merugikan satu pihak, dalam hal ini massa demonstran.
Jika sebuah kebijakan mengakomodasi aspirasi yang berkembang, maka aksi-aksi unjuk rasa yang “membuang waktu produktif”, bahkan seringkali memakan korban itu, tidak perlu terjadi.
Apalagi, toh akhirnya masalah yang ada diselesaikan secara diplomasi, perundingan, atau negosiasi. Jadi, mengapa harus menunggu aksi demo dulu baru berindak atau membuat keputusan atau kebijakan yang baik?
Aksi demonstrasi, bahkan anarkisme dan pengrusakan, tidak mesti terjadi, jika saja pejabat dan wakil rakyat di negeri ini memiliki komunikasi politik yang baik dengan rakyatnya; jika saja di otak mereka adalah melayani rakyat, bukan mengejar kekayaan dan keuntungan pribadi dan kelompok dengan “aji mumpungisme” sebagai pejabat yang sangat mudah mendapatkan duit dengan berbagai dalih –tunjangan, insentif, komisi proyek, bahkan korupsi!
Aturan tentang demonstrasi atau unjuk rasa tertuang dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2012.
Disebutkan, unjuk rasa atau demonstrasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh seorang atau lebih untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka umum.
UU dan Perkapolri mengatur tata cara unjuk rasa, mulai dari pemberitahuan, waktu dan tempat aksi, isu yang diangkat atau disuarakan, hingga sanksi bagi demonstran yang melanggar aturan.*
Aksi Demonstrasi aksi unjuk rasa Bulan Demonstrasi