Startup yang dilanda badai PHK antara lain Shopee, LinkAja, SiCepat, Zenius, dan Line Indonesia.

Ilustrasi Korban PHK (123rf)
Reaktor.co.id, Jakarta — Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) melanda banyak startup di Indonesia. Menurut Investopedia, startup adalah perusahaan rintisan yang didirikan oleh satu atau banyak orang untuk mengembangkan sebuah produk atau layanan.
Jenis perusahaan ini cenderung menggunakan sistem online untuk memasarkan atau mengenalkan produk dan layanannya. Kini banyak start-up di Indonesia yang tidak mampu bertahan dan tidak bisa menghindari PHK karyawannya.
Kabar terbaru badai PHK di perusahaan rintisan ini disampaikan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Menurutnya, gelombang PHK massal khususnya terjadi di sektor startup dan manufaktur.
“Menjelang akhir 2022, kondisi ketenagakerjaan kita kurang mengembirakan,” katanya dalam acara peresmian Balai Latihan Kerja (BLK) Komunitas, Minggu (23/10/2022).
Wapres menyebutkan, gelombang PHK itu disebabkan banyak faktor, dari perkembangan teknologi yang memaksa efisiensi tenaga kerja hingga ketidaksiapan untuk beradaptasi.
Starup yang sudah melakukan PHK antara lain adalah Shopee, LinkAja, TaniHub, Edtech, dan Binar Academy. Tidak hanya melakukan PHK, beberapa startup Indonesia bahkan menyatakan gulung tikar, seperti startup furnitur Fabelio yang menutup seluruh unit usahanya di Indonesia.
Penyebab Badai PHK Startup
Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, PHK dan kebangkrutan yang menimpa sejumlah startup memang dipicu banyak faktor.
Pertama, perubahan perilaku masyarakat yang membuat startup menghadapi kenyataan yang tak sesuai ekspektasi. Saat pandemi Covid-19 muncul, startup memang menjadi incaran banyak pekerja di Indonesia, terutama anak muda yang menginginkan cara kerja fleksibel.
Saat itu banyak perusahaan rintisan baru yang bermunculan. Startup yang lahir di masa pandemi memiliki optimisme bahwa akan terjadi perubahan gaya hidup masyarakat ke depannya, yakni lebih mengandalkan digitalisasi.
Tapi saat pandemi mulai melandai, masyarakat tetap lebih memilih berinteraksi secara fisik.
“Nah ketika pandemic darling ini dihadapkan dengan realita bahwa ketika terjadi pelonggaran mobilitas, maka permintaan terhadap layanan digital itu ikut mengalami koreksi atau penurunan terutama yang berkaitan dengan bisnis consumer atau B to C,” ujar Bhima.
Ia mencontohkan dua sektor startup yang mengalami tekanan usai pandemi, yakni, e-commerce dan pendidikan. Saat pandemi, masyarakat mengubah gaya hidup dan belanja dari offline menjadi online untuk membeli pakaian, bahkan sayuran dan buah.
Begitu juga dengan sekolah yang saat 2020 tidak diperbolehkan tatap muka, maka belajar online menjadi pilihan.
“Tapi itu tak bertahan lama, karena masyarakat ternyata memilih untuk beraktivitas secara fisik lagi, sehingga digital hanya menjadi penopang. Nah ini yang menyebabkan tekanan bagi startup,” imbuhnya.
Kedua, permasalahan uang. Pendanaan startup biasanya berasal dari modal ventura asing. Namun, seiring ancaman resesi global, maka aliran modal ke startup berpotensi ikut terganggu.
“Nah ini salah satu yang menyebabkan PHK di startup Indonesia karena ketergantungan pendanaan dari asing yang mungkin saja mengalami banyak permasalahan di negaranya, sehingga pendanaan ke Indonesia jadi seret,” jelasnya.
Ketiga, permasalahan persaingan usaha yang tidak sehat. Banyak startup yang bersaing menarik konsumen melalui perang promo dan suku bunga tinggi atau dikenal dengan istilah “bakar uang”.
Ia mencontohkan platform e-commerce yang memberikan potongan harga besar-besaran sampai tawaran gratis ongkos kirim.
Strategi perang diskon yang salah ini membuat banyak startup berguguran. Yang bisa bertahan hanyalah startup yang memiliki modal besar.
“Nah strategi ini yang salah, ini yang perlu diubah sehingga bukan perang promo ataupun perang diskon yang didorong untuk menggaet loyalitas tapi yang lebih berkelanjutan adalah mendorong fitur ataupun layanan, dan kolaborasi. Tentu tak mudah dan sulit karena masyarakat terbiasa dengan berbagai promo saat berbelanja online, tapi harus dimulai sejak saat ini,” jelasnya.
Hal senada dikemukakan peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet.
Ia melihat badai PHK yang terjadi di startup disebabkan oleh makin ketatnya persaingan untuk mendapatkan konsumen di tengah pandemi yang telah melandai.
Selain itu, timeline para startup seharusnya meraup keuntungan di tahun ini malah menjadi boomerang dengan konsep awal yang disusun. Sebab, perubahan perilaku masyarakat mengandalkan online ikut meredup sejalan dengan perkembangan covid-19 di Indonesia.
Rendy bahkan memperkirakan badai PHK startup akan berlanjut hingga beberapa tahun ke depan.
“Menurut saya dalam katakanlah satu sampai dua tahun ke depan, tren PHK di startup ini masih akan terjadi, seiring dengan faktor untuk mulai meraup keuntungan,” jelasnya. (Tempo/CNN)